Ini bukan hanya kisahku, tapi kisah dia juga. Iya, kisah tentang dia, cowok yang sebenarnya aku sukai namun cukup berat untuk mengutarakannya.
Dia adalah Bagio Mahadia yang lebih akrab dipanggil Gio oleh separuh warga sekolah.
Aku tahu, kalau dia sudah lama berpacaran dengan kakak kelasku. Cinta mereka seperti jarum dan benang yang saling membutuhkan dan selalu berjalan bersama.
Suatu hari, mereka dihadapkan dengan suatu masalah yang mereka tidak bisa selesaikan. Entah seperti apa persoalan itu, namun kelihatannya justru membuat hubungan mereka menjadi renggang sejenak.
Kakak kelasku itu adalah Jani. Rupanya, gara-gara persoalan itu, kebiasaan Jani mulai berbeda. Ia bertambah kurus, mungkin karena tidak makan atau apalah. Aku juga terlalu kepo dengan urusan orang.
Namun, satu kekhawatiran, kalau saja persoalannya dengan Gio itu tidak sampai membuat ia tidak semangat dalam belajar dan merakit mimpinya sebagai seorang pelajar.
Suatu sore tepatnya hari di hari Sabtu, kami berdua bersama sama bergegas menuju sekolah dengan tujuan yang berbeda. Kami berdua melenggang dengan semangat. Yah, meskipun dalam hatiku masih tersimpan seribu luka yang sangat dalam, tapi aku tetap berusaha menutup semua itu dan bersikap baik baik saja.
Kami pun sudah sampai disekolah. Dan aku pun langsung menuju kelasku sedangkan Jani ke kelasnya sendiri. Kelas kami saling berdekatan.
Selanjutnya, kami pun berpisah dalam kegiatan yang berbeda di sore itu.
Aku bersama teman-temanku mengikuti olahraga pencak silat, sedangkan Jani dan teman temanya lebih banyak waktu di dalam ruangan kelas, entah belajar ataupun berdiskusi kelompok, saya pun kurang memperhatikannya.
Tepat pukul 17:30, kami semua pulang ke rumah kami masing masing.
Aku dan Jani pun berjalan beriringan melewati beberapa kampung.
Ditengah perjalanan kami dipertemukan dengan Gio. Hati Jani pun senang seketika, karena di depan matanya ada orang yang spesial dalam hidupnya.
Jani pun menyapanya dengan senyuman yang penuh arti. Serasa rembulan malam tengah bercumbu dengan samudera.
Akan tetapi, langsung raib seketika, saat melihat respon Gio yang biasa biasa saja.
Namun di balik itu, Gio pun langsung menyahut datar ” hai Jani, sebentar malam kamu aktif FB yah!” Katanya.
Sedangkan Jani pun meresponnya dengan penuh semangat sambil mengangkat jempol.
“Cieh..cieh..h..”, seruku sambil tersenyum dan menepuk tanggan, membuat Jani tersipu malu dan berkata” ih, dasar adek-adek, biasa aja kali”.
Waktu pun terus mengalir dan tak terasa telah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku mendengar dering Hp ku berbunyi tanda pesan masuk. Aku pun langsung bergegas menuju kamar untuk mengecek isi pesan itu.
Dan ternyata pesan itu dari Gio. “Je, bantu aku dong, untuk bilang sama Jani kalau hubungan kami cukup sampai di sini saja”. Tulisnya via massenger, yang membuat aku menjadi bingung seketika. Aku pun sengaja tidak membalasnya, tanpa menghapusnya.
Karena aku tidak mau Jani jadi sedih dan stres.
Satu Minggu sudah berlalu, ternyata Jani sudah tau semuanya tentang pesan itu di ponselku. Begitu sakit hatinya setelah melihat pesan itu.
Semenjak hubungan mereka berakhir begitu saja, Gio pun mulai akrab dengan saya. Bahkan ia menjadikanku sebagai kawan curhatnya. Bahkan, ia berpura pura menjadikanku sebagai kekasihnya, hanya sekedar untuk melupakan Jani.
Singkatnya, kami menjalani hubungan semata-mata agar Jani benar-benar mengetahui alasan Gio memutuskannya.
Hinga suatu waktu, Jani sudah tau tentang semuanya dan sangat kecewa denganku. Aku pun dipandangnya sebagai pagar makan tanaman.
Hingga sampai pada akhirnya, relasi kami pun menjadi putus, bahkan semua sosmedku di blokirnya.
Tak sempat aku menjelaskan semuanya, dan sesegera mungkin meminta Gio untuk mengakhiri semua skenario yang tidak benar ini.
Namun, jawaban Gio justru membuatku semakin kalang kabut. Bahkan ia malah mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya kalau ia sangat menyukai dan mencintai aku.
Namun, sampai dengan sekarang, aku masih belum memberikan jawaban apapun. Aku memilih untuk berdiam dan membiarkan ungkapan isi hati Gio bergantung begitu saja. Hingga membiarkan waktu untuk melenyapkannya. Entahlah.*
Tentang Penulis:
Honorestin N. Sudin, siswi kelas XII IPA SMAN 3 Macang Pacar.
Tinggalkan Komentar